TEMBAKAU MEMBUNUHMU (?)
1. KESEHATAN
Tembakau yang selama ini dikategorikan sebagai pembunuh senyap tidak selamanya benar, karena tembakau sudah digunakan oleh para leluhur sebagai media pengobatan maupun sarana relaksasi, sebut saja suku Indian yang sudah sejak lama menggunakan tembakau untuk obat berbagai penyakit seperti luka luar, masalah pernapasan, hingga diyakini bahwa tembakau mampu membuat mereka tenang sehingga bisa bermeditasi dan bertemu untuk berkomunikasi dengan para leluhur.
Tingwe, terutama jika yang digunakan adalah tembakau murni/tanpa campuran saus ternyata manfaatnya sangat banyak. Kandungan neophytadiene/sesquiterpenoids (C20H38) terbukti mampu membunuh bakteri, kuman, peradangan hingga mencegah kanker karena sifatnya sebagai antioksidan, semuanya terkandung di dalam nikotin daun tembakau. Nikotin saat masuk ke dalam peredaran darah, tubuh akan terangsang dan melepaskan hormon endorfin yang mana membuat tubuh menjadi rileks, damai dan bahagia.
2. EKONOMI
Tingwe merupakan alternatif untuk para perokok karena semakin mahalnya harga rokok, otomatis para perokok harus merogoh kantong lebih dalam hanya untuk menikmati asap kedamaian tersebut. Sedangkan tingwe bisa dibilang jalan pintas penuh kenikmatan yang aman bagi dompet karena tidak sampai Rp. 100.000,- para ahli hisap sudah bisa berasap selama 2 minggu atau bahkan 1 bulan lamanya. Anggaran yang semula membengkak karena harga rokok yang meroket bisa dialokasikan untuk kebutuhan lainnya.
3. SOSIAL
Sejak sebelum seorang lintingers mendapatkan tembakau, pasti ada komunikasi dengan penjual, baik secara langsung maupun lewat gadget yang digunakan si calon pembeli, mulai dari bertanya seputar produk yang akan dibeli hingga tembakau sampai di tangan dan ternyata tembakaunya cocok, maka akan ada repeat order ke penjual yang sama, otomatis akan terjalin komunikasi yang harmonis sehingga tali silaturahmi pun terjalin.
Saat seorang lintingers sedang melinting di tempat umum, pasti ada orang yang memandang dengan penasaran dan tak jarang orang tersebut akan menghampiri untuk sekadar bertanya, sering kali terjadi proses penyebaran virus tingwe yang mendekatkan mereka sehingga pertemanan tercipta, satu demi satu akan menjadi semakin banyak, bahkan mungkin bisa membuat sebuah komunitas tingwe di daerah asal mereka. Bukan tidak mungkin, yang tadinya tidak kenal, akan menjadi kenal, kemudian menjadi saudara satu daun.
4. BUDAYA
Merokok katanya sudah menjadi budaya bangsa Indonesia, tapi nyatanya budaya yang sebenarnya adalah tingwe, kita merujuk pada masa "guru besar" dari negara kincir angin masih betah di negara ini. Ribuan bahkan jutaan hektar lahan tembakau tersebar di berbagai penjuru negeri untuk dipanen dan dikirim ke negara asal untuk kemudian dijual, tak berlebihan, tembakau Indonesia menjadi salah satu primadona di mancanegara.
Namun, kesohorannya tidak serta merta menjadikan para petani makmur. Daun-daun berkualitas tinggi dibawa keluar, hingga menyisakan tembakau berkualitas biasa untuk dinikmati para petani sebagai pelipur lara. Kertas rokok belum ditemukan saat itu, jikalau ada, harganya pasti mahal.
Maka para petani melintingnya dengan menggunakan daun jagung/klobot, daun aren/kawung dan/atau daun tembakau untuk dijadikan rokok. Cengkeh, kelembak, kemenyan dan rempah-rempah lainnya menjadi bumbu untuk memperkaya rasa sehingga terciptalah kenikmatan yang turun temurun diwariskan. Meski sempat digempur oleh berbagai rokok pabrikan lokal maupun mancanegara, tingwe tetap eksis meskipun hanya kalangan tertentu saja yang masih setia dengannya. Namun, sekarang kita bisa lihat para lintingers dimanapun.
Budaya tingwe tetap hidup, bahkan para lintingers milenial datang dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa hingga pekerja kantoran. Budaya yang awalnya dipandang sebelah mata, kini menjadi sebuah trend di masyarakat.
Berbagai daerah penghasil tembakau di Indonesia memiliki kesenian tradisional yang berhubungan erat dengan tembakau, contohnya saja upacara adat dan tari tradisional yang selalu diselenggarakan di Temanggung saat sebelum penanaman dan sebelum masa panen tiba.
Bahkan di Jember ada Tari Lahbako (Lah: olah/mengolah; Bako: Tembakau) yang diciptakan pada tahun 1980an ini menggambarkan kehidupan para petani tembakau. Tarian ini biasanya dipentaskan oleh beberapa penari perempuan dengan gerakan yang menggambarkan aktivitas para petani di ladang atau kebun tembakau.
Festival Tungguk Tembakau di Boyolali yang rutin diadakan di Selo saat panen raya tiba. Kirab hasil bumi yang diiringi dengan tarian serta musik tradisional memeriahkan acara tersebut sebagai bentuk rasa syukur atas hasil alam yang diberikan Tuhan kepada tanah mereka.
6. KESEJAHTERAAN PETANI
Ketika seorang pelinting membeli tembakau, biasanya akan menuju para pedagang, baik di pasar online maupun offline. Para agen mendapatkan tembakau langsung dari petani, bahkan tak sedikit petani yang menjual sendiri tembakaunya. Hal di atas menyebabkan perputaran dana yang pendek, karena tidak ada pihak ketiga (pabrik) dalam proses peredarannya. Agen/Tengkulak biasanya membeli tembakau langsung dari petani dengan sistem timbang-bayar, sangat jarang ada istilah dibawa dulu, dibayar setelah laku. Petani langsung dibayar di tempat tanpa melalui proses yang berbelit-belit. Uang jatuh ke tangan petani secara langsung dan dapat digunakan saat itu juga atau ditabungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian hari.
Itulah segelintir manfaat tembakau dalam berbagai segi kehidupan yang mampu dirangkum untuk sekadar memberikan wawasan serta gagasan bahwa tak selamanya tembakau itu merugikan. Tapi tak selamanya segala sesuatu itu selalu bermanfaat.
"Alle Dinge sind Gift, und nichts ist ohne Gift, allein die Dosis macht dass ein Ding kein Gift ist".
(Semua hal adalah racun, dan tidak ada yang tanpa racun, dosisnya saja membuatnya jadi bukan racun).
- Paracelsus
Tak nitip komen 'like' mind hehehee
BalasHapusMonggo mastrisup 😁
Hapus