HIKAYAT NEGERI TEMBAKAU (Bag. 3)
Rumah Agus Parmuji masih ramai, padahal sudah jam 21.00. Lebih dari sepuluh orang sibuk membongkar keranjang-keranjang berisi tembakau, mengambil contoh tembakau, mencium, lalu mencatat, memberi tanda pada keranjang-keranjang tersebut, dan kemudian menyimpannya di gudang.
Laki-laki 34 tahun itu adalah kepala desa di Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung. Rumah Agus sendiri terletak di dusun Dukuh. Suatu malam pada Agustus lalu saya datang ke rumahnya, saat sebagian besar warga Temanggung memanen tembakau. “Ini masih petikan kedua, Mas. Srintil akan keluar setelah tanggal 24 Agustus,” ucap Agus sambil memperlihatkan beberapa contoh tembakau kepada saya.
Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tempat tersebut merupakan penghasil srintil. Sejak kecil, Agus sudah jatuh cinta kepada tembakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer dari desanya.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
Laki-laki 34 tahun itu adalah kepala desa di Wonosari, Kecamatan Bulu, Temanggung. Rumah Agus sendiri terletak di dusun Dukuh. Suatu malam pada Agustus lalu saya datang ke rumahnya, saat sebagian besar warga Temanggung memanen tembakau. “Ini masih petikan kedua, Mas. Srintil akan keluar setelah tanggal 24 Agustus,” ucap Agus sambil memperlihatkan beberapa contoh tembakau kepada saya.
Dukuh adalah saingan Lamuk. Kedua tempat tersebut merupakan penghasil srintil. Sejak kecil, Agus sudah jatuh cinta kepada tembakau. Bahkan, ketika masih duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah rela berjalan jauh ke kota Temanggung yang kira-kira berjarak 15 kilometer dari desanya.
Tujuannya hanya untuk tahu setelah tembakau dipetik, diperam, dirajang, dijemur, dan dibungkus keranjang lalu dibawa ke gudang di kota, apa proses selanjutnya? Alhasil, keluarganya bingung, warga desanya pun bingung hingga hampir semua orang mencarinya.
Selepas SMA, Agus terjun sebagai petani tembakau. Di kampungnya, ia adalah sosok kepala desa berusia muda, namun disegani. Ia pernah memeriksakan beberapa tanah di wilayahnya ke Institut Pertanian Bogor. Bahkan, contoh tanah itu pernah dibawa ke Amerika hanya untuk tahu bagaimana caranya supaya bisa menghasilkan kualitas tembakau yang bagus.
“Petani itu punya tiga pegangan menanam tembakau yang merupakan warisan pengetahuan nenek-moyang: siti (tanah), wiji (benih), wanci (cuaca atau waktu). Untuk yang pertama dan kedua, kita sebagai petani harus bisa mengusahakan yang maksimal,” papar Agus. “Tapi soal wanci, kita bergantung kepada Tuhan.”
Agus lalu mencontohkan panen kali ini. Saat tembakau masih butuh guyuran hujan, ternyata hujan sudah tidak turun. Dan saat tembakau sudah tumbuh besar, angin bertiup lebat. “Akibatnya, akar tembakau menjadi stres dan daun tembakau menjadi kempes, tidak padat berisi sehingga kualitasnya kurang. Tapi siapa yang bisa mengusir angin?”
Keesokan harinya, saya diajak Agus keliling desa untuk melihat bagaimana tembakau diperam, dirajang, dan dijemur. Setelah itu, ia meminta beberapa warganya untuk mengantar saya di daerah tembakau yang cukup tinggi. Ia tidak bisa ikut karena di siang hari banyak petani yang menyetor hasil panen mereka ke rumahnya.
Kami naik mobil bak terbuka, menyusuri jalan menanjak tak beraspal. Di mana mata saya memandang, yang ada hanyalah daun-daun tembakau yang berkilau diterpa panas matahari yang menyengat. “Di saat musim seperti ini, rumput pun mati. Hanya tembakau yang bisa hidup.” teriak seorang petani yang berada di balik kemudi, melawan deru mesin dan suara ban yang menggilas tanah bebatuan.
Mobil berhenti tepat di ketinggian 1.450 mdpl. Puncak Gunung Sumbing terlihat jelas. Banyak orang menyebut Dukuh dan Lamuk sebagai Negeri di Atas Awan. Karena ketika cuaca mendukung, dari kedua dusun tersebut bisa terlihat jajaran awan di bawah.
Temanggung dan tembakau adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Maklum saja, tembakau telah menyulap kehidupan warga Temanggung. Setidaknya ada 14 kecamatan dari 19 kecamatan yang ada di Temanggung yang menjadi sentra penghasil tembakau, dengan total luas lahan tembakau berkisar 15.000 hektare.
Tak heran, perputaran uang saat panen tembakau di Temanggung bisa mencapai angka lebih dari satu triliun rupiah! Angka itu baru dari satu kabupaten, dan masih di satu titik pada hulu dari industri rokok di negeri ini. “Coba Mas pikir, komoditas pertanian apa yang dalam skala masif, satu kilogram harganya bisa di atas Rp800.000 selain tembakau?” Agus sempat memberikan pertanyaan itu ketika mengantar saya memasuki mobil untuk meninggalkan Negeri di Atas Awan itu.
Jujur saja agak mengherankan bagi saya, ketika hampir semua petani tembakau di Lombok Tengah dan Lombok Timur yang saya temui kenal dengan sosok bernama Iskandar. Masyarakat di kedua wilayah tersebut lebih akrab menyebut laki-laki kelahiran Krian, Sidoarjo, Jawa Timur, 57 tahun lalu itu dengan panggilan: Haji Is. Orangnya ramah dan kebapakan.
Sejak kecil, ia mengaku suka dengan tanaman. Di sekeliling rumahnya ia tanami sayuran dan ketela. Maka ketika lulus SMP, Iskandar memutuskan masuk ke Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Malang. Di sekolahnya, ia mempelajari tanaman semusim, salah satunya tembakau. “Tidak tahu kenapa, saya jatuh cinta dengan tembakau. Mungkin karena nenek saya dulu juga jualan tembakau di pasar.”
Lulus sekolah ia diterima di sebuah pabrik rokok, dan bekerja di bidang budi daya tanaman tembakau pada 1977. Tujuh tahun kemudian, oleh perusahaan tempatnya bekerja, ia ditugaskan untuk membuka lahan pertanian di Lombok.
Mulailah Iskandar menjelajah Lombok, memperkenalkan pertanian tembakau lewat masjid dan kepala desa. Biasanya seusai salat Jumat ia meminta waktu ke pengurus masjid untuk bicara soal budi daya tanaman tembakau dan potensi ekonominya.
“Saya harus mengakui kehebatan senior saya yang memberi saya tugas untuk membuka lahan di sini. Bayangkan, pada 1984, ia sudah mampu melihat tren bahwa kelak para perokok akan beralih dari rokok kretek nonfilter ke rokok kretek filter bahkan ke rokok light, yang membutuhkan banyak tembakau virginia. Dan sekarang, Lombok adalah penghasil tembakau virginia terbesar di Indonesia.”
Tahun lalu, Lombok mampu menghasilkan 45.000 ton tembakau Virginia. Itu artinya, pulau ini menyumbang hampir 90 persen kebutuhan virginia nasional. Iskandar bukan hanya mengurus soal budi daya, melainkan juga terjun membenahi sistem tata niaga yang sehat antara petani dengan pabrikan yakni dengan sistem kemitraan.
“Di sini saya buat sistem, petani punya hitungan, pabrik punya hitungan. Lalu kita duduk bersama untuk menentukan musyawarah harga, sehingga semua merasa puas dan adil.” Kreativitas petani tembakau di Lombok memang teruji. Tembakau virginia di Lombok harus dioven.
Para petani mendirikan dan melakukan berbagai eksperimen untuk menghasilkan bangunan oven yang bagus, kuat, dan efisien. Bahan bakar utama mengoven adalah minyak tanah. Tetapi, ketika Pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengonversi minyak tanah menjadi gas, petani pun melakukan uji coba untuk mengantisipasi ke-langkaan minyak tanah.
Awalnya, mereka memakai kayu bakar. Tetapi, karena kayu bakar terancam habis, mereka menggantikannya dengan batu bara. Namun saat batu bara yang didatangkan ke Lombok tidak berkualitas bagus, para petani beralih ke kulit kemiri yang didatangkan dari Flores, dan cangkang kelapa sawit yang didatangkan dari Kalimantan.
Sekarang, baik kulit kemiri maupun cangkang sawit yang dulu adalah limbah, menjadi komoditas yang menarik untuk lahan bisnis baru di Lombok.
Komentar
Posting Komentar