HIKAYAT NEGERI TEMBAKAU (Bag. 6)


Banyak jenis tembakau di Indonesia yang masuk dalam kategori unik dan mahal. Di Temanggung dan Muntilan ada tembakau srintil, di Lombok ada tembakau senang, di Garut ada tembakau mole, dan di Madura ada tembakau campalok. Dengan membawa penerjemah yang bisa berbahasa Madura, saya datang ke lokasi tempat tembakau campalok berada, di dusun Jembengan, desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep.

Laki-laki yang saya cari sedang tiduran di atas balai-balai bambu yang sekaligus berfungsi sebagai musala. Namanya Abdul Aziz. Kulitnya legam dan tubuhnya gempal. Ia adalah pewaris lahan yang menghasilkan tembakau Campalok. “Karena saya petani, muka saya lebih tua dibanding umur saya,” ia bergurau.

“Saya tidak tahu persis kenapa tembakau ini bisa terkenal. Mungkin karena faktor tanahnya yang bagus. Tapi kalau menurut bapak dan kakek saya, dulu tanah tempat tembakau ini pernah disinggahi seorang ratu dari Sumenep. Kebetulan di sana ada sumur kecil. Saat singgah, ia mandi di sebelah sumur itu. Saat mandi, bunga yang ada di kepala ratu itu jatuh. Dari bunga itu tumbuh menjadi pohon yang disebut pohon campalok. Baunya harum. Mungkin dari bau harum tumbuhan ini, tembakau yang hidup di sekitar pohon itu jadi harum.”

Saya kemudian diajak menuju ke lahan tempat tembakau campalok tumbuh. Sayang, kedatangan saya agak telat. Panen tembakau campalok sudah dilakukan sekitar 10 hari sebelumnya. Namun batang-batang pohon tembakau itu masih berdiri utuh.

Lahan itu tidak seberapa besar, hanya dua petak dengan membentuk huruf “U”. Dan, memang hanya ada satu pohon campalok yang tumbuh di sana, dan berdekatan dengan puluhan kuburan. Lahan itu hanya menghasilkan tujuh kilogram tembakau kering. Harga per kilonya untuk tahun ini Rp1.250.000. Harga yang cukup fantastis. Padahal, menurut Aziz, mulai bibit sampai cara penanaman dan perawatan tembakau Campalok tidak berbeda dengan tembakau lain.

“Sesepuh saya yang menanam tembakau di sekitar pohon ini,” ujarnya sambil menunjuk pohon campalok, “karena itu tembakaunya disebut tembakau Campalok. Jadi yang memberi nama tembakau Campalok ya sesepuh saya.”

Saya bertanya, siapa yang membeli tembakau campalok. Aziz menjawab, Pak Haji Guntur, seorang pedagang dan pencinta tembakau. “Saya sudah kadung dekat dengan Pak Haji Guntur, jadi tidak menjual ke orang lain. Bahkan tembakau saya ini sudah dikontrak untuk terus dibeli oleh beliau.”


Saya spontan bertanya, dikontrak sampai kapan? “Sampai beliau berhenti merokok.” Terang saja jawaban Aziz membuat saya tertegun. Azis mengakui, saat ini tembakau campaloknya sudah habis, semua dikirim ke Pak Haji Guntur.

Setelah cukup lama berbincang di lahan tembakau, kami berjalan beriringan menuju tempat semula kami berjumpa, sebuah musala yang sederhana. Sebelum pamit pulang saya sempat iseng berkata: dengan harga setinggi itu, kalau lahan tembakau campaloknya lebih luas lagi tentu ia bisa kaya-raya. Aziz hanya mengulum senyum, “Sebelum meninggal dunia bapak saya sempat berkata: Nak, tanah ini anugerah Tuhan, syukuri saja.”

oOo

"Hikayat Negeri Tembakau" ditulis oleh: Puthut EA
Tulisan ini pernah dimuat di National Geographic.

Disunting dari:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MEMBUAT BLEND / CAMPURAN TEMBAKAU

TIPS MENYIMPAN TEMBAKAU

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TEMBAKAU