SEJARAH DAN PENGEMBANGAN TEMBAKAU TEMANGGUNG
Sejarah dan peranan tembakau temanggung keduanya mempunyai hubungan akibat dan sebab. Dengan pengertian bahwa meningkat/menurunnya peranan tembakau temanggung akan menentukan berlangsung/berakhirnya sejarah pengembangannya. Mengetahui informasi mengenai sejarah dan peranan merupakan faktor yang cukup penting dalam upaya memperbaiki sistem agribisnis tembakau temanggung.
SEIARAH PENGEMBANGAN TEMBAKAU TEMANGGUNG
Berdasarkan naskah Jawa, "Babad Ing Sangkala" disebutkan bahwa tembakau telah masuk ke Pulau Jawa bersamaan dengan mangkatnya Panembahan Senopati Ing Ngalaga pada tahun 1523 Saka atau tahun 1602 Masehi. Sejak pengenalan sampai dengan tahun 1830-an, pengusahaan tembakau pada dasarnya dilaksanakan secara kecil-kecilan oleh petani dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan persembahan kepada penguasa.
Pada periode berikutnya tepatnya pada tahun 1857, George Berni mulai mengembangkan tembakau cerutu di daerah eks Karesidenan Besuki, tepatnya di daerah Jember dan sekitarnya. Selain di daerah Jember tembakau cerutu juga dikembangkan di daerah Deli dan Surakarta, semuanya diekspor ke Eropa.
Tembakau rakyat pengembangannya sangat tergantung pada pasar lokal. Sekitar tahun 1650 penanaman tembakau dapat dijumpai di banyak wilayah Indonesia. Area tembakau berskala luas didapatkan di daerah-daerah seperti Kedu, Bagelen, Malang, dan Priangan.
Tembakau yang dikembangkan di wilayah eks Karesidenan Kedu selanjutnya disebut tembakau kedu. Area penanamannya menyebar di lereng Gunung Merbabu, Sumbing, Sindoro, dan Prau, masing-masing masuk wilayah administrasi Kabupaten Wonosobo, Temanggung, dan Kendal. Pada tahun 1940 area tembakau di wilayah daerah Propinsi Jawa Tengah seluas 65.000 hektar, lebih dari 30.000 hektar terdapat di wilayah eks Karesidenan Kedu.
Pusat pengembangan dan pengolahan yang sekaligus sebagai pusat pemasaran tembakau kedu adalah di wilayah Kabupaten Temanggung. Area tembakau di Kabupaten Temanggung sekitar 20.000 hektar yang sebagian besar menyebar di lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Tembakau kedu yang berada di luar wilayah Kabupaten Temanggung seluruhnya dijual di Temanggung dalam bentuk daun hijau. Oleh karena itu selanjutnya tembakau kedu yang berasal dari wilayah Kabupaten Temanggung disebut tembakau temanggung, sedang yang berasal dari luar Temanggung disebut temanggungan. Dalam pengolahannya menjadi tembakau rajangan, kedua jenis tembakau terse but dicampur, produk tembakau rajangan yang diperoleh dengan merk dagang tembakau temanggung.
Khusus tembakau dari Kabupaten Wonosobo sebagian kecil diolah menjadi tembakau garangan, sebagai bahan rokok tradisional (lintingan). Bagi konsumen pencampuran tersebut bukan merupakan masalah, bahkan kemungkinan justru merupakan usaha petani/pedagang untuk memenuhi selera konsumen. Karena pasar tembakau rajangan tidak membedakan antara tembakau temanggung dan temanggungan, beberapa pihak berpendapat bahwa tembakau kedu lebih tepat disebut tembakau temanggung.
Kebijakan pemerintah dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu serta pendapatan petani tembakau temanggung, maka sejak tahun 1980 dilaksanakan program intensifikasi tembakau rakyat (ITR). Program ITR merupakan pengembangan dari keberhasilan program intensifikasi pada padi yang manpu meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani. Seperti halnya program intensifikasi pada padi, pada program ITR petani peserta mendapat fasilitas kredit modal permanen (KMKP) dalam bentuk uang dan sarana produksi serta bimbingan dari para penyuluh.
Pembina program ITR adalah Cabang Dinas Perkebunan Daerah Tingkat II Kabupaten Temanggung, dalam hal ini sebagai pelaksananya adalah unit pelaksana proyek (UPP), namun tidak berperan sebagai pengelola (pembeli). Dengan kata lain UPP sebagai pembina ITR tidak memberi jaminan pasar terhadap hasil tembakau dari para peserta. Berdasarkan penelitian Mukani dan Isdijoso (1990) menunjukkan bahwa Program ITR tidak mampu meningkatkan produktivitas, mutu, dan pendapatan petani tembakau temanggung. Fenomena ini menegaskan bahwa jaminan pasar merupakan faktor kunci dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mutu serta pendapatan petani.
Sampai saat ini kegagalan usaha tani tembakau temanggung yang disebabkan serangan penyakit masih cukup tinggi. Bibit yang berasal dari Kemloko merupakan sumber nematoda puru akar dan bakteri, sedang bibit dari Sitieng merupakan sumber bakteri.
Oleh karena itu usaha pengendalian patogen di pembibitan perlu dilakukan. Untuk mengatasi serangan nematoda puru akar pada pembibitan di Kemloko, pada musim tanam tahun 1990 PT. Djarum telah membantu pedagang bibit di daerah ini dengan memberikan Furadan 3G untuk bedengan seluas 5 ha. Namun pemberian Furadan hanya dilakukan satu kali pada saat sebelum tabur benih, padahal efektivitas Furadan hanya 30 hari, sedangkan bibit dicabut sejak umur 10 hari sampai 6 kali pencabutan dengan interval 10 hari. Dengan demikian bibit cabutan kedua dan seterusnya kemungkinan besar masih terinfeksi nematoda. Kebijakan pemerintah dalam tata niaga cengkeh dengan memberi hak monopoli pada BPPC pada tahun 1991 sangat merugikan industri rokok keretek, sehingga secara otomatis menghentikan pembinaan yang dilakukan oleh PT. Djarum.
PERANAN TEMBAKAU TEMANGGUNG
Keberadaan tembakau temanggung sebagai komoditas komersial memiliki beberapa peranan penting, antara lain peranannya dalam racikan sigaret keretek, terhadap pendapatan petani dan perekonomian wilayah.
Peranan tembakau temanggung dalam racikan sigaret keretek sebagai pembentuk rasa dan aroma, khususnya sigaret keretek tangan (SKT). Sebelum periode tahun delapan puluhan, produksi industri sigaret keretek didominasi oleh SKT. Dalam racikannya semua industri sigaret keretek membutuhkan tembakau temanggung sehingga persaingan antar pabrik dalam pembelian tembakau temanggung sangat ketat khususnya tembakau mutu terbaik (Srintil).
Sesuai dengan hukum pasar, akibatnya harga tembakau srintil sangat mahal. Sebagai ilustrasi pada tahun 1976 harga tertinggi tembakau Temanggung mutu srintil mencapai Rp120.000,00 per kg. Jika berat neto satu keranjang adalah 40 kg maka nilai jual tembakau srintil satu keranjang sebesar Rp4,8 juta. Pada waktu itu nilai tersebut setara dengan harga sebuah Jeep Toyota dalam kondisi baru. Lahan yang mampu menghasilkan tembakau srintil terbatas, dan hanya terjadi pada keadaan iklim yang kering saja.
Pada awal tahun tujuh puluhan, dalam upaya memanfaatkan peluang pasar dan sekaligus merebut pasar sigaret putih mesin (SPM), beberapa pabrik sigaret keretek membuat produk sigaret keretek mesin (SKM). Dibandingkan dengan SKT, SKM rasanya lebih ringan dan aromanya lebih segar serta kandungan tembakau tiap batang lebih sedikit. Kenyataannya SKM diminati oleh konsumen, sebagai gambaran jika pada tahun 1972 produksi SKM sebanyak 46 juta batang, sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1981 meningkat menjadi 22,9 milyar batang. Pada tahun 1985 produksi SKM mampu melampaui SKT, bahkan tahun 1997 mencapai dua setengah kali produksi SKT
Pergeseran selera konsumen dari SKT ke SKM, menyebabkan pergeseran kebutuhan tembakau temanggung dari yang rasanya berat ke arah yang lebih ringan. Tembakau temanggung rasa berat terdapat pada mutu F dan G, sedang rasa ringan pada mutu E ke bawah. Permintaan tembakau temanggung terbanyak adalah mutu D dan E, sebaliknya untuk mutu F dan G menurun. Sesuai dengan hukum pasar, harga mutu D dan E meningkat, sebaliknya harga mutu F dan G menurun. Sebagai ilustrasi jika pada tahun 1988 harga tembakau mutu D dan E sebesar Rp16.000,00 pada tahun 1990 meningkat menjadi Rp22.500,00 per kg. Sebaliknya pada periode yang sama tembakau mutu F dan G nenurun dari Rp60.000,00 menjadi Rp35.000,00 per kg.
Di samping itu faktor yang berpengaruh terhadap harga adalah curah hujan pada bulan Juli-September dengan elastisitas sebesar - 0,0989. Makin tinggi curah hujan pada periode bulan Juli-September harga semakin turun.
Meningkatnya kebutuhan tembakau mutu D dan E ternyata tidak dapat dipenuhi hanya dari tembakau temanggung dan temanggungan saja. Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh petani di daerah lain seperti di wilayah Kabupaten Malang, Magetan, dan Nganjuk dengan menanam tembakau temanggung jenis Kemloko. Pemilihan lahan didasarkan ketinggian tempat yang sesuai dengan kondisi di Temanggung yaitu minimal 700 mdpl. Tembakau tersebut dijual dalam bentuk daun hijau dibeli di lokasi oleh pedagang tembakau dari Temanggung, yang selanjutnya dijual ke petani atau pengusaha rajangan. Transaksi dapat dilakukan di tempat petani atau pengusaha rajangan dan pasar daun tembakau di Parakan.
Pada saat SKT mendominasi produksi sigaret keretek, tembakau temanggung merupakan sumber pendapatan utama bagi petani, puncaknya sampai dengan akhir tujuh puluhan. Selanjutnya, menginjak tahun delapan puluhan setelah terjadi pergeseran konsumen dari SKT ke SKM, peranan tersebut terus menurun khususnya tembakau di lahan tegal. Faktor penyebabnya adalah menurunnya harga tenrbakau mutu F dan G serta makin meningkatnya biaya produksi, sebagai akibat dari meningkatnya harga pupuk anorganik dan pupuk kandang serta upah tenaga kerja. Sebagai bukti menurunnya peranan tersebut disajikan keragaan pendapatan usaha tani tembakau temanggung di lahan legal dan sawah pada tahun 1993-1998 (Tabel l).
Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa selama periode tersebut baik usaha tani tembakau temanggung di lahan tegal dan sawah masing-masing mengalami keuntungan dan kerugian sebanyak tiga kali dalam periode tahun yang sama. Jumlah keuntungan dan kerugian di lalan tegal berturut-turut sebesar Rp7.307.811,00 dan Rp8.282.807,00 sedang di lahan sawah Rp4.167.235,00 dan Rp5.299.947,00. Dengan demikian selama periode tahun 1993-1998 usaha tani tembakau temang gung di lahan tegal dan sawah masing-masing mengalami kerugian sebesar Rp974.996,00 dan Rp1.I32.712,00 per hektar per tahun.
Kabupaten Temanggung sebagai pusat pengembangan dan pengolahan yang sekaligus sebagai pusat pemasaran tembakau sangat menguntungkan dalam perekonomian wilayah. Tidak berlebihan jika pemerintah daerah memilih tenrbakau sebagai lambang Kabupaten Temanggung. Tembakau dalam bentuk olahan (rajangan kering) pada tahun 1997 kuantumnya sekitar 15.000 ton untuk mudahnya jika harga tembakau rata-rata Rp15.000, jumlah uang yang beredar untuk perdagangan tembakau mencapai Rp225 milyar. Pendapatan dari usaha tani tembakau sebagian besar untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan primer dalam hal ini pangan seperti padi dan jagung, dipenuhi dari hasil tanaman sendiri yang diusahakan pada saat sebelum atau setelah tanaman tembakau. Pengeluaran unfuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier elastis terhadap tambahan pendapatan. Dengan demikian pengaruh pengganda (multiplier effect) cukup tinggi, sehingga mampu berperan sebagai sumber pertumbuhan perekonomian daerah. Di samping itu daun bawah tembakau temanggung diolah dalam bentuk kerosok sebagai komoditas ekspor, dengan nama tembakau kedu VO. Pada tahun 1994 volume dan nilai ekspor masing-masing sebesar 192,7 ton dan 156,5 US$, pada tahun 1997 masing-masing meningkat menjadi 390,5 ton dan 349,7 juta US$.
Komentar
Posting Komentar