SRINTIL DAN MITOS ASAL MULA TEMBAKAU TEMANGGUNG

Kabupaten Temanggung, salah satu kota tempat berlangsungnya Festival Sindoro-Sumbing pada 15 Juni-27 Juli 2019, dikenal sebagai “Negeri Tiga Gunung”. Sebutan ini seolah menunjukkan kebanggaan warganya karena dilimpahi anugerah alam yang permai. Tiga gunung tersebut adalah Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan Gunung Perahu yang berhawa dingin.

Lereng-lereng di ketiga gunung itu, tumbuh tanaman tembakau dengan kualitas terbaik di dunia. Bahkan Desa Lamuk, yang terletak di leher dan punggung lereng bagian timur Gunung Sumbing, dikenal sebagai daerah penghasil tembakau srintil, tembakau terbaik, “Emas Hijau”, yang harganya bisa mencapai Rp1 juta per kilogram. Desa Lamuk adalah satu-satunya lokasi yang memperoleh sinar cerah matahari pagi yang sangat sehat untuk membentuk daun-daun tembakau menjadi tampak lebih hijau, lebih tebal, dan lebih lebar sehingga membentuk kualitas top.

Pada zaman Belanda, Kabupaten Temanggung merupakan bagian dari Keresidenan Kedu, pusat pertanian tembakau terbaik di dunia. Di Temanggung kini, Kedu hanyalah sebuah desa, yaitu Desa Kedu, yang berada di bawah Kecamatan Kedu, dan di bawah Kabupaten Temanggung.

Pada abad ke-19, Residentie Kedoe, meliputi wilayah yang jauh lebih luas daripada Kabupaten Temanggung itu sendiri. Di sebelah barat, wilayah Kedu mencakup daerah yang sekarang disebut Kabupaten Wonosobo. Sedikit ke timur daerah Parakan, pusat pemerintahan Kabupaten Menoreh. Di sebelah selatan meliputi Bagelen, Purworejo, dan sedikit ke timur, wilayah Magelang, yang sekaligus merupakan ibu kota dan pusat pemerintahan Keresiden Kedu tersebut.

Ketika diberlakukan kebijakan culturstelsel, sistem “Tanam Paksa”, oleh Gubernur Jenderal Van Den Bosch, petani harus menanam teh, tebu, nira, dan tembakau. Muntilan dan Kedu, yang sekarang menjadi Temanggung, disebut sebagai salah satu tempat penanaman tembakau tersebut.

Catatan sejarah, Sistem Tanam Paksa itu dimulai sesudah berakhirnya Perang Jawa (Perang Diponegoro), 1825-1830. Ini menjadi penanda bahwa pada masa itu tembakau telah dikenal di daerah tersebut. Meskipun demikian, petani setempat tidak tidak pernah mengetahui kapan tembakau pertama kali dikenal.

TAMBAKU

Kebanyakan petani di daerah Sindoro-Sumbing menjawab pertanyaan kapan tembakau mulai dikenal dengan menceritakan satu mitos. Seperti dicatat Mohamad Sobary dalam Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung (2016), tembakau juga memiliki bingkai mitologi, yang membuat tembakau bukan sekadar komoditas.

Dikisahkan, seorang tua, dengan langkah tuanya, serba hati-hati dan pelan, mendaki Gunung Sumbing hingga mencapai ke dekat puncaknya yang terjal. Tiba-tiba pandangan orang tua itu tertuju pada suatu jenis tetumbuhan yang menarik hatinya. Dia berhenti sejenak. Kemudian sambil mencabut sebatang tumbuhan yang mengejutkannya, ia berteriak penuh takjub: “Iki tambaku!” Secara harfiah artinya: “Ini obatku”.

Tumbuhan di tangannya tadi kelak diberi nama—atau memperoleh nama—dari “metamorfosa” cara pengucapan kata tambaku tersebut. Pelan-pelan kata tambaku itu berubah menjadi tembako, yang oleh "ketidaksabaran" orang Jawa diubah lagi dengan membuang suku kata “tem” di bagian depannya menjadi mbako, yang hingga kini sudah menjadi konsep mapan dalam bahasa Jawa, dan kita mengenalnya dalam bahasa Indonesia sebagai “tembakau”.

Kemudian orang tua tadi melanjutkan pendakiannya hingga mencapai puncak Gunung Sumbing. Di sana, menurut mitos tadi, dia meninggalkan sebuah petilasan—suatu jejak yang dianggap sebagai tempat suci. Hingga sekarang, petilasan itu tetap suci dan dihormati bukan saja oleh masyarakat setempat, melainkan juga mereka yang berdomisili di daerah-daerah lain yang datang berkunjung untuk memperoleh sesuatu yang dianggap penting bagi kehidupan mereka.

Para peziarah percaya, bahkan yakin, bahwa di tempat suci itu terdapat kekuatan-kekuatan magis, sakral, dan gaib, yang dapat memberikan suatu jenis pengaruh yang baik sebagaimana diharapkan, atau dimohon, oleh mereka.

Tokoh mitos tersebut dikenal dengan nama Sunan Kedu, Ki Ageng Kedu, Prabu Makukuhan, Sunan Makukuhan, Ki Ageng Makukuhan, dan Wali Agung Makukuhan, yang disebut pernah berguru pada—dan menjadi murid—Sunan Kudus. Petilasan Sang Wali Agung terletak di Kecamatan Kedu, tidak jauh dari Gunung Sumbing.

Petilasan itu juga diperlakukan sebagai tempat suci, dan sangat dihormati bukan hanya oleh warga masyarakat setempat, melainkan juga warga masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari Temanggung.

Kita ketahui bahwa Sunan Kudus telah memainkan peran penting di zaman Kesultanan Demak sekitar tahun 1478-1546. Sunan Kudus juga dikenal sebagai penasihat Sultan Hadiwijaya di Pajang, yang dimulai sekitar 1546.

Apakah Sunan Kudus terlibat aktif dalam perdagangan tembakau, tidak ada penjelasan khusus. Tetapi kita bisa menduga, bibit tembakau setidaknya sudah masuk Jawa sejak periode akhir Kesultanan Demak sampai dengan berdirinya Kesultanan Pajang pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16.

Catatan sejarah, tembakau diperkenalkan oleh orang Spanyol, yang membawanya dari Meksiko ke Asia pada 1575, mula-mula ke Filipina, dan kemudian diteruskan ke tanah Jawa tahun 1601. Sultan Agung (1613-1645), seperti dicatat dalam sejarah, disebut sebagai raja Jawa yang perokok berat.

Tim Indonesiana

Penulis: Candra Gautama

Disunting dari:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

CARA MEMBUAT BLEND / CAMPURAN TEMBAKAU

TIPS MENYIMPAN TEMBAKAU

HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TEMBAKAU