KELAKAR ASAP
Tingwe, primadona warisan nenek moyang yang dipandang sebelah mata. Nasibnya timbul tenggelam digilas roda invasi rokok pabrikan yang lebih diminati karena kepraktisannya dan mudah ditemukan dimanapun.
Putra Tanah Air berkata, "kita bisa nenjual mereka" sambil berkacak pinggang sebelah tangan seraya menunjuk ke onggokan daun tembakau di tiap sudut negri. Sesegera mungkin, berbagai tangan ahli mengambil alih, racik sana, racik sini, terciptalah berbagai rupa selongsong berisi tembakau dan rempah-rempah yang kemudian dijual dalam bayang-bayang "cukai".
Tahun demi tahun berganti, upeti dipersembahkan untuk negara, meskipun setiap tahun nilai yang harus dibayarkan terus bertambah, mereka tetap setia membayarnya. Perlahan tapi pasti, perut negara membesar hingga mengangkangi Sabang sampai Merauke dengan tamaknya.
Seiring berjalannya waktu, negara semakin lapar, cacing-cacing di perut buncitnya sudah memulai orkes keroncong, saat ia kalang kabut mencari pengganjal perut di dalam lumbung panganan, tumpukan cukai tembakau mengonggok di sudut gelap sana, hina di matanya namun bisa digunakan untuk membungkam orkes itu.
Semua organ berkumpul,
"Naikkan cukainya, saya lapar", ujar Anus.
"Tapi kalau dinaikkan, industri kecil bisa gulung tikar", sanggah Otak.
"Itu supaya orang di bawah umur tidak bisa membelinya", balas Anus.
"Kalau itu tujuannya, tinggal tunjukkan KTP, lihat umurnya, kalau cukup umur, silah dibeli" pungkas Hati.
"Lagipula, kita sudah cukup dapat pemasukan yang tinggi setiap tahunnya, buat apa dinaikkan lagi?" Tanya Jantung.
"Kalau saya bilang naikkan, ya, naikkan!" bentak Anus.
Perdebatan berlangsung alot. Namun, ketamakan Anus mengalahkan semua argumen yang tersaji di atas meja bundar. Penuh semangat yang berapi-api, negara melangkahkan kakinya menuju tanah kuburan dengan gapura menjunjung tinggi bertuliskan "Makam Perusahaan Rokok Kecil dan Menengah" dengan ratusan batu nisan bertuliskan berbagai merk rokok yang kini hanya sebatas nama saja.
Sejauh mata memandang, hanya ada kepiluan. Tanah yang belum kering dari perusahaan kecil yang baru saja dimakamkan, terlihat pula beberapa liang lahat tengah digali untuk pemakaman perusahaan kecil lainnya yang tengah sekarat, tinggal menunggu waktu hingga ajal menjemput.
"Inilah cara kita 'menyelamatkan' Bangsa, tapi tetap bisa makan enak sampai kenyang!", suara batin penuh ketamakan dari Negara Gemah Ripah Loh Jinawi.
Tahun berganti, nilai rupiah yang harus dibayarkan sebagai upeti kian menanjak, pria dan wanita yang berada di balik industri kretek satu persatu mulai "gantung seragam", gigit jari mengadu nasib di lahan lain. Tidak sedikit Kaum Caping yang kian terinjak-injak nasibnya. Lebam, remuk redam hatinya menerima kenyataan pahit setiap musim panen tembakau selesai.
Di luar sana, para pemuja asap mulai resah, uang yang didapat takkan cukup untuk membeli "sesajen" pembuat paru-paru tersenyum setiap hari. Dosis dikurangi, alhasil, hidup terasa kurang bergairah. Mengadu nasib lidah pada rokok-rokok murah yang centang perenang dijajakan di berbagai warung, ada yang memuaskan, ada yang mengecewakan. Almanak terus berganti, lembaran hari selalu berganti akan tetapi kepuasan tak pernah tercapai.
Anak-anak manusia berjalan menyisir pasar tradisional hingga kios tembakau "lawas" dengan penjual yang sudah tidak bisa dipanggil "Bro". Berbagai lekuk merk dan rupa tersaji, ada yang didandani dengan saus rempah-rempah dengan beragam perasa untuk mempercantik diri, ada pula yang dandan apa adanya, hanya mengandalkan alam sebagai penyumbang alas bedak hingga gincunya.
Pilihan kembali ke selera lidah masing-masing. Alami atau olahan, selama mereka masih bisa memuja asap, tidak masalah. Meskipun pada awalnya terasa aneh, tapi "Ibu Tiri Kehidupan" memaksa mereka untuk tetap berujar "enak" padanya dan pada diri sendiri daripada dapur sepi tanpa ada suara panci, wajan, pisau dan kompor yang mengisi kehidupan sehari-hari.
Jiwa-jiwa pengusaha yang tertidur perlahan membuka mata dan mulai menapak tilas daerah-daerah penghasil tembakau di Indonesia. Tengkulak didatangi, petani dihampiri, akad jual beli terlaksana dengan sah. Berbagai macam tembakau dibawa pulang dengan senyum penuh suka cita dan otak yang berputar untuk bisa mendapatkan rezeki dari apa yang mereka bawa pulang dari petani dan tengkulak.
Promosi demi promosi digencarkan untuk mendorong penjualan, sedikit demi sedikit, mulut-mulut yang haus akan nikotin berdatangan, lama kelamaan, semakin banyak yang tertarik untuk menjadi berwiraswasta, baik daring maupun luring.
Kaum buruh yang dirumahkan, kini berjualan tembakau. Kaum Caping yang kini bukan hanya datang dari wajah-wajah renta, melainkan para jiwa muda yang dipenuhi dengan darah muda yang membara saat ini tengah bersuka cita karena ada sumber pendapatan lain yang lebih menjanjikan saat mereka menjual tembakau hasil jerih payahya kepada para pedagang tembakau daripada pihak pabrik.
Saat ini sudah jarang ditemui tangan-tangan yang kesusahan menggerayangi tembakau untuk dikulum dan dinikmati akibat dari menjamurnya tingwe, baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Hingga akhirnya tiba pada "Era Tingwe", dimana nilai-nilai yang terselimuti di dalamnya mulai merebak. Tingwe sudah bukan lagi kebanggan orang-orang tua, anak-anak muda saat ini sudah telaten menjamahnya, bukan tidak mungkin, Indonesia akan menjadi "Negara Tingwe" di masa depan dengan tetap mewarisi nilai-nilai seni, budaya, ekonomi, sosial dan lainnya yang menjadi saripati tingwe itu sendiri.
"Tingwe" menurutku lebih dari sekedar pembahasan harga rokok pabrik yang melambung tinggi, tapi lebih ke seni rasa. "Pemuja daun atas" 😁
BalasHapusYaaaap, tapi dari sisi nilai yang paling banyak disorot itu adalah nilai ekomomi, padahal banyak nilai2 lainnya yang terpinggirkan 😁
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus