ELEGI NEGERI TEMBAKAU
Beberapa hari belakangan ini, hujan nampaknya mulai jatuh cinta pada bumi, ia turun hampir setiap hari. Mengeceup hingga menyetubuhi setiap jengkal tanah yang kering dilanda kemarau. Saban hari, awan mendung sudah hinggap di cakrawala, pegunungan diselimuti tabir putih pembawa suhu dingin yang menembus hingga ke tulang, menjerumuskan cahaya matahari ke dalam kegelapan, hingga ia tak mampu membelai dengan mesra dedaunan yang merindukan kehangatannya.
Bukannya diri ini menjadi sosok yang kufur akan nikmat-Nya, hanya saja hujan terlihat begitu bernafsu untuk menjelajahi tanah di bumi ini pada saat petani sedang mendambakan Sang Surya untuk sekadar menyinari dedaunan yang kelak akan menjadi penyangga ekonomi selepas daun pintu gudang-gudang raksasa tempat pertaruhan nasib para petani itu ditutup.
Perlahan tapi pasti, satu demi satu batangnya berwarna kecokelatan hingga kehitaman dan pada akhirnya, daun-daun penyemangat sekaligus sumber mata pencaharian para petani itu lemas, terkulai tak berdaya dicecar "banyu" langit yang tak kunjung beranjak dari ladang-ladang di lereng gunung sana. Bermodalkan nekat dan terdesak oleh kerinduan sanak famili akan asap yang membumbung di dapur, daun-daun itu mulai dirangkul dengan sepenuh hati, ladang-ladang yang sekiranya sudah siap dipanen akan didatangi dan dipilih daun-daun yang dinilai bagus untuk kemudian diproses sedemikian rupa agar bisa memenuhi permitaan para pembeli.
Perkara pemanenannya pun tidaklah mudah, daun-daun basah tersebut bobotnya bisa mencapai puluhan kilogram dan diangkat menggunaan tangan menyusuri jalanan sempit di lereng gunung tempat ladang mereka berada, kemudian dinaikkan ke atas "bebek besi" untuk dibawa turun ke rumah atau ke tempat pengolahan masing-masing.
Daun-daun hasil panen tiba bersamaan dengan tetesan keringat serta bercak-bercak cokelat kehitaman yang menempel di baju dari sisa-sisa getah saat proses pemanenan berlangsung. Daun-daun itu digulung dalam satu kelompok berisikan 5 hingga 15 lembar untuk kemudian diperam selama beberapa malam agar layu dan menurunkan kadar getah yang masih tinggi.
Pagi buta, mesin perajang tembakau sudah bersuara lantang, bahkan ayam jago pun masih belum nampak tekadnya untuk berkokok. Dedaunan yang telah diperam pasca panen itu memasuki lubang yang berisi pisau perajang, tajamnya bisa membuat jemari manusia jelita yang dicumbunya khatam untuk sekadar dipercantik dengan kuteks.
Rajangan demi rajangan lahir dari puluhan hingga ratusan kilogram daun basah tersebut. Di saat bersamaan, ketelitian dan keuletan kaum Hawa diagungkan untuk menata hasil perajangan itu di atas rigen (tempat menjemur tembakau yang terbuat dari anyaman bambu) dengan seksama agar tidak bertumpuk antara satu dengan yang lainnya sehingga bisa menyebabkan tembakau tidak dapat kering dengan sempurna.
Keperkasaan kaum Adam datang di saat mereka harus menggotong rigen tersebut ke tempat penjemuran. Bagi petani yang memiliki lahan, mereka bisa menjemurnya di sekitar kediamannya. Tapi, bagi mereka yang tidak memiliki lahan, artinya mereka harus bekerja lebih berat untuk mengangkut rigen-rigen tersebut dan membawanya ke tempat yang lapang untuk dijemur sampai dirasa sudah cukup kering untuk menuju ke proses selanjutnya. Lihatlah kisanak, perjuangan mereka sudah cukup berat, akan tetapi, rintangannya masih belum usai.
Sepeti yang sudah dikisahkan di atas, awan mendung, kabut dan hujan masih betah untuk menyapa bumi hampir setiap hari. Alhasil, daun-daun hasil rajangan tersebut tidak bisa mencapai tingkat kekeringan yang diidam-idamkan. Bahkan, jikalau sedang tertimpa musibah, si pemilik bisa lupa kalau ia sedang menjemur tembakau dan baru sadar saat hujan sudah mencumbu dedaunan di atas rigen hasil jerih payah mereka dari pagi buta hingga bercokolnya mentari di atas sana dan menghasilkan "wedang" teh, mengucur dari lubang-lubang yang ada di rigen. Hati remuk redam, dada terasa sesak, tak sadar air mata menitik tanda keputusasaan, karena tembakau rajangan yang sudah terkena air hujan saat dijemur kualitasnya akan menurun drastis dan tentunya akan lebih rentan diserang jamur yang bisa merusak segala "komponen kenikmatan" di dalamnya.
Bagi para petani yang beruntung, hasil panenannya akan kering sampai ke tingkat kematangan yang diinginkan. Namun, hal terberat baru mengetuk di daun pintu. Ya, grading dari para grader pihak gudang yang akan menentukan harga hasil jerih payah mereka. Cuaca yang kurang bersahabat, kualitas menjadi menurun, otomatis harga pun akan dipangkas sejadi-jadinya, belum lagi akibat ke-"bijak"-an pemerentah yang setiap tahun semakin mendekatkan petani pada kemusnahan tradisi dan budaya yang sudah diwariskan turun-temurun sejak dulu kala.
Hasil akhir sudah bisa diprediksi, tak banyak tembakau yang dihargai cukup tinggi akibat beberapa faktor di atas. Tak sedikit dari mereka yang kelak akan memilih untuk menanam tanaman lainnya, tapi tak sedikit pula yang pantang menyerah hanya demi melestarikan apa yang sudah dijalani oleh kakek buyut dan diwariskan kepada mereka dari generasi ke generasi.
Sebagai sebuah pengakuan, penulis bukan bermaksud kufur akan nikmat-Nya. Akan tetapi, tidakkah semua ini begitu memberatkan "kaum caping" yang setiap hari berkecimpung di ladang-rumah-ladang-rumah hanya untuk mempertahankan nyala bara api di dapur agar mulut bisa terus mengunyah dan perut bisa terisi dengan baik.
Bersyukur atas apa yang ada, terkadang sulit dilakukan di saat ujian yang datang terasa begitu alot. 2020 dan 2021, tercatat sebagai musim panen yang kurang memuaskan.
Tuhan, kami ingin cuaca yang bersahabat di tahun berikutnya, izinkan kami untuk bisa merasakan nikmat hasil jerih payah kami, izinkan kami untuk bisa terus menghidupkan warisan budaya dan tradisi turun-temurun dari nenek moyang kami, izinkan kami untuk bisa menyebarluaskan kenikmatan dari susunan helai dedaunan di dalam selimut kertas bagi para penikmatnya, dan izinkan kami untuk bisa terus bersabar menghadapi semua ujian darimu. Karena, sesungguhnya hanya kepada-Mu lah kami mengadu dan memohon pertolongan.
Komentar
Posting Komentar