NGERI SEDAP CERITA TEMBAKAU INDONESIA
Tembakau itu rokok. Kalimat itu seolah mengubur fungsi lain dari daun yang berjuluk emas hijau sejak zaman Indonesia belum merdeka, bahkan mungkin hingga saat ini.
Dugaan itu dikuatkan data dari Organisasi Pangan dan Makanan Dunia (FAO) pada 2000 yang menyebutkan total produksi daun tembakau di seluruh dunia terserap sebanyak 80 persen untuk industri rokok. Sisanya difungsikan dan memiliki daya guna lain.
Data yang sama juga dikemukakan Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI). Menurut mereka selama ini 90 persen daun tembakau diserap oleh industri rokok Nasional.
Kepercayaan sebagian masyarakat yang masih mengembangkan tradisi memandang tembakau memiliki banyak faedah praktis. Menurut mereka tembakau bisa berguna untuk obat nyamuk, pengusir kutu tanaman, pengusir ulat, penguran efek bisa ular, obat pilek, dan pasta gigi.
Kabar lain soal manfaat tembakau terkuak saat dunia dilanda kehebohan virus Ebola. Salah satu obat eksperimental bernama ZMapp, ternyata berbahan tanaman tembakau. Pada 2014 lalu pembuatnya telah mendapat kontrak untuk percepatan pengembangannya.
Dari Inggris, ada perusahaan obat GlaxoSmithKline. Bersama Departemen Kesehatan Amerika Serikat, pada pertengahan September ini rencananya mengujicoba vaksin Ebola pada sukarelawan sehat di Inggris dan AS. Saat diujicoba pada hewan primata, vaksin ini dinilai menjanjikan.
Lalu ada ZMapp, antibodi berbahan tembakau buatan Mapp Biopharmaceutical Inc. asal San Diego, AS. Diujicoba oleh Dr Gary Kobinger dari Laboratorium Mikrobiologi Nasional di Winnipeg, Kanada, antibodi ini sukses menyelamatkan 100% dari 18 monyet rhesus macaques yang terinfeksi Ebola, meski baru diberikan lima hari pasca infeksi.
Departemen Kesehatan AS pun mengambil langkah konkrit. Mereka mengumumkan kerja sama dengan Mapp Biopharmaceutical untuk mempercepat program pengembangan ZMapp. Kontrak senilai USD42,3 juta telah disiapkan untuk dukungan tenaga ahli, memproduksi, pengaturan, dan aktivitas nonklinis lainnya.
Indonesia sebenarnya sudah melihat potensi tembakau untuk mengatasi Ebola. Guru Besar Bio Cell Universitas Brawijaya Malang Profesor Sutiman mengungkapkan, tembakau yang hanya tumbuh di sejumlah wilayah di Tanah Air bisa dipakai untuk mengobati beberapa jenis penyakit, juga menjadi vaksin untuk mencegah virus Ebola.
"Oleh karena itu, kalau dipercaya dan ditunjuk membuat vaksin tersebut, kami dari Universitas Brawijaya Malang ini sangat siap," tegasnya dikutip Kompas.com, Agustus 2014 silam. Dukungan pun datang dari Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), menekankan agar pemerintah lewat Departemen Kesehatan RI tidak hanya sibuk kampanye bahaya Tembakau.
Pihak lainnya adalah Protalix dari Israel. Dilaporkan Reuters, saham kumpeni bioteknologi tersebut melonjak 10% menyusul kabar bahwa teknologi mereka dapat mengembangkan vaksin seperti ZMapp. Mengutip siaran televisi Israel Channel 2, Protalix memiliki fasilitas langka untuk membuat vaksin cukup dari sel Tembakau saja, lebih efisien dari ZMapp.
Pada setiap tanggal 31 Mei, diperingati sebagai hari tanpa tembakau. Organisasi Kesehatan Dunia mencetuskannya pada 1987. Lantas bagaimana nasib daun tembakau yang dimusuhi banyak kalangan itu? Ngeri sedap cerita tembakau akan dibahas dalam laporan khas kali ini.
Ini kisah soal tembakau Indonesia. Tanaman yang mulai berharga tinggi pada akhir 1800-an lantaran sentuhan industri dan mulai menjadi kontroversi pada 1980-an lantaran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan label kata "anti", sebab dituding sebagai biang banyak penyakit ini, ternyata menyimpan segudang cerita dan data.
Hingga hari ini, Indonesia masuk peringkat keenam negara penghasil tembakau terbanyak di dunia. Hasil panen tembakaunya, menurut data yang diperoleh pada 2012, menyumbang 2,67 persen pasokan daun tembakau di pasar global atau setimbang dengan 165 ribu ton per tahun.
Pada tahun yang sama, produksi tembakau Indonesia mencetak rekor tertinggi selama 30 tahun terakhir. Dari data Kementerian Pertanian yang berhasil diolah menunjukkan angka produksi tembakau di Indonesia mencapai 260.818 ton.
Tembakau di Indonesia ditanam di hampir 200 ribu hektare lahan. Dirawat dan menghidupi sekitar 551 ribu keluarga petani yang tinggal membentang di 14 provinsi. Dari Aceh di barat negeri, hingga Nusa Tenggara Timur.
Dengan paparan data sedemikian, patut kiranya Indonesia disebut sebagai negeri yang kaya tembakau. Hasil panen tembakau yang 90 persennya lebih dimanfaatkan untuk industri rokok, dengan kualitas yang cukup diperhitungkan dunia, sepatutnya republik menaruh perhatian lebih terhadap komoditas tembakau.
Namun itu mungkin tinggal cerita, sebab kondisi nyata memang berbeda. Sejak 1990, Indonesia mulai melakukan impor tembakau. Saat itu, produksi dalam negeri yang berjumlah 150 ribu ton lebih dirasa tak mencukupi kebutuhan nasional. Alhasil, sebanyak 26 ribu ton lebih tembakau impor menyusup masuk ke pasar nasional. Kebanyakan tembakau impor berasal dari Tiongkok, Brasil dan Amerika Serikat.
Penyusupan impor tembakau pada 26 tahun lalu itu momentum berbaliknya keadaan selama hampir puluhan tahun sebelumnya. Tercatat selama 20 tahun sebelum 1990, laju ekspor tembakau Indonesia selalu berada di atas impor.
Setahun kemudian, alih bisa membalikkan keadaan, impor Indonesia akan tembakau meningkat. Pada 1991, angka impor menanjak hingga 28 ribu ton lebih. Sejak itu negeri kaya tembakau ini harus rela berbagi porsi dengan tembakau luar negeri.
Lantas apa yang terjadi pada rentang masa itu? Dicuplik dari penelitian Tobacco Control Support Center yang berisikan para ahli kesehatan masyarakat pada 2012, kala itu disimpulkan terjadi penurunan produksi daun tembakau secara global. Penurunan itu rupanya tercatat juga di Indonesia. Sayangnya di Indonesia, penurunan produksi daun tembakau terus terjadi hingga satu dekade berikutnya.
Produksi pada 1990 tercatat dalam data Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik mencapai 156 ribu ton, menurun terus hingga menjadi 135 ribu ton pada tahun 2010.
Produktivitas lahan tembakau Indonesia sempat mengalami kenaikan dari 649 kg/ha pada 1995 menjadi 867 kg/ha pada 2009. Namun kembali menurun pada tahun 2010 menjadi 764 kg/ha.
Menurut TCSC, proporsi lahan pertanian tembakau dibanding total lahan pertanian di Indonesia semakin lama terus menurun. Pada 1990 proporsi lahan pertanian tembakau sebesar 0.52 persen dari luas seluruh lahan pertanian di Indonesia, sedangkan pada 2010 proporsinya tinggal 0,38 persen. Dari luasan lahan 235.866 Hektare di 1990 menjadi 216 ribu hektare saja pada 2010.
Berdasar penelitian Tobacco Control Support Center yang berisikan para ahli kesehatan masyarakat pada 2012, selama kurun waktu 1996-2010, jumlah petani tembakau di Indonesia sebenarnya berfluktuasi antara 400 ribu hingga 900 ribu orang. Jika dibandingkan dengan jumlah petani di seluruh sektor pertanian, maka persentase fluktuasinya berkisar antara 1,0 persen hingga 2,6 persen.
Tercatat, selama satu dekade terakhir terjadi kenaikan jumlah petani tembakau secara absolut maupun relatif terhadap jumlah seluruh pekerja. Angkanya dari 665 ribu menjadi 689 ribu atau terjadi kenaikan sebesar 3,61 persen.
Dalam kurun waktu yang sama, proporsi petani tembakau terhadap pekerja sektor pertanian tidak berubah, yaitu tetap pada angka 1,6 persen. Sementara itu, proporsi petani tembakau terhadap seluruh pekerja menurun dari 0,7 persen menjadi 0,6 persen.
Harga riil daun tembakau mengalami peningkatan hingga tujuh kali lipat mulai dari Rp1.016 per kilogram pada 1996, menjadi Rp7.580 per kilogram pada 2006 dan angka itu terus berlipat hingga hari ini. Namun sayang kenaikkan itu tak berdampak banyak kepada para petani.
REZEKI DI TANGAN GRADER
Umumnya petani tembakau tidak mencurahkan waktu secara penuh untuk mengelola tanaman tembakau. Selain menanam tembakau mereka juga melakukan kegiatan pertanian lain. Selama kurun waktu 1990 hingga 2010, rata-rata jumlah petani tembakau setara purna waktu berkisar di jumlah setengah juta orang. Itu mengapa kebanyakan petani tembakau tak terlalu hirau dengan isu kesejahteraan. Baru belakangan saat tembakau impor mulai menginvasi, mereka baru merasa gerah.
Dalam relasi petani, kesejahteraannya dan industri terdapat satu profesi unik yang menjembatani semua. Grader namanya. Di tangan para grader yang memiliki tugas memilihkan tembakau terbaik bagi industri itu, rantai komoditas tembakau dan kesejahteraan petani bergantung.
Melalui penciuman, grader bisa membedakan, tembakau biasa saja dengan tembakau yang berkualitas super. Lapisan harga serta jenis ia ciptakan setiap kali panen berlangsung. Konon, seorang grader bisa membuat 40 lapisan harga dalam setiap kali panen tembakau, mulai dari harga Rp500 per kilogram hingga Rp25 ribu per kilogram.
Sayangnya di balik keunikan profesi grader ini, terdapat ganjalan. Ada sebuah kultur perdagangan yang ditentukan secara sepihak dan itu terpelihara selama berpuluh tahun dalam skema bisnis tembakau. Apa sebab? Dengan adanya grader, petani tak pernah tahu bagaimana grader menentukan atau memperoleh nilai untuk selembar daun tembakau.
Itu mengkibatkan posisi tawar petani berada pada kedudukan si lemah, sebab sangat bergantung kepada penilaian grader yang rata-rata posisinya merupakan utusan industri. Meski belum pernah terjadi tumbukan besar antara grader dan petani, dalam relasi bisnis daun tembakau semacam itu, hidup mati kesejahteraan petani ada di tangan para grader.
Komentar
Posting Komentar