TRAGEDI AWAL TAHUN

Bukan Indonesia namanya jikalau tak ada sesuatu yang jadi bahan perbincangan saat memasuki awal tahun. Bagi sebagian orang, mungkin isu-isu politik dan sosial lebih digandrungi. Tapi, bagi para perokok, kenaikan cukai sebesar 12% yang sudah diketok palu oleh pemerentah menjadi menu utama menyambut tahun 2022 mendatang. Tidak tanggung-tanggung, 10% hingga 12,5% kenaikan cukai tembakau tentu akan menaikkan harga jual rokok di berbagai skala usaha, mulai dari pabrik, distributor hingga pengecer. 

Keluhan demi keluhan, bahkan kecaman datang dari berbagai pihak. Salah satunya adalah kondisi ekonomi rakyat yang notabene masih berusaha untuk "merangkak" kembali selepas pandemi merajalela, tentunya efek kenaikan cukai rokok akan semakin membebani, terlebih bagi para perokok yang datang dari ekonomi menengah ke bawah. Seolah-olah pemerentah menjadikan pandemi ini sebagai momentum untuk menekan jumlah perokok di Indonesia yang konon katanya sangat mengkhawatirkan. Tapi, apa yang dilakukan pemerintah, membatalkan kenaikan cukai?. Tentu tidak, justru pemerintah seolah-olah meng-uninstall telinga dan nuraninya. 

EFEK DOMINO 

1. PABRIK BESAR
Kenaikan harga cukai tentunya akan berakibat pada penurunan produksi di kelas pabrik dan tidak menutup kemungkinan pengurangan jumlah karyawan pun akan terjadi akibat anggaran untuk pita cukai naik, sedangkan ada banyak nyawa yang bergantung pada proses produksinya, tak tanggung-tanggung, menurut Kementerian Perindustrian (Kemenperin), total tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri rokok sebanyak 5,98 juta orang dan didominasi perempuan. Adapun komposisinya terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan. Semua itu adalah nyawa manusia yang bergantung pada setiap hasil produksi pabrik rokok. 

2. HOME INDUSTRY DAN PABRIK BERSKALA KECIL
Home Industry dan Pabrik berskala kecil sudah mulai mengambil ancang-ancang untuk menghadapi kenaikan cukai tahun depan, bagi para pelaku home industry kretek atau pabrik berskala kecil, tahun depan masih berada di zona abu-abu, antara bertahan atau gulung tikar. Tak sedikit dari para pelaku usaha home industri dan pabrik berskala kecil yang mengalami kesulitan untuk menambal biaya produk, apalagi untuk membayar gaji karyawan. Terbukti, selama satu dekade, terdapat 63 ribu pekerja sektor IHT terpaksa kehilangan pekerjaan. Jumlah pelaku industri rokok juga berkurang, dari 4.700 perusahaan menjadi 700 perusahaan saja per 2019. 

Jumlah sebanyak itu terjadi antara tahun 2009 hingga 2019 dengan rata-rata setiap tahunnya cukai naik, belum lagi jika berbicara tahun 2020 dan 2021 yang mana kenaikan cukai semakin ugal-ugalan. Tidak menutup kemungkinan akan semakin banyak buruh yang dirumahkan dan jumlah pabrik rokok yang tutup akan bertambah. 

3. PENGECER
Takkan lengkap jika berbicara tentang kenaikan cukai tanpa menyenggol kalangan pengecer yang menjadi perantara antara pabrik ke konsumen. Kenaikan cukai yang semakin memberatkan terasa pula di tingkat pengecer. Terbukti, biasanya rata-rata mereka menyediakan stok lengkap, semenjak kenaikan cukai semakin berat, stok pun berkurang karena harganya naik sedangkan masih terdapat kebutuhan lainnya yang meraung-raung minta "diisi ulang" dan tentunya akan berakibat pada penurunan pendapatan sehari-hari dari sektor penjualan rokok yang biasanya cukup menguntungkan. 

4. PETANI TEMBAKAU DAN CENGKEH
Kaum Caping takkan luput dari ganasnya roda ke-"bijak"-an mematikan ini. Pembelian dari pihak pabrik kemungkinan besar akan semakin berkurang akibat naiknya harga cukai, karena hal tersebut otomatis membuat pabrik harus menaikkan anggaran pembelian pita cukai, yang tak menutup kemungkinan anggaran pembelanjaan untuk tembakau dan cengkeh beserta hasil bumi penunjang produksi akan berkurang. Imbasnya, tentu saja menimpa petani yang sudah bermandikan keringat terpanggang sinar matahari di ladang. Eh, dibeli cuma sedikit dan harganya seringkali kurang memuaskan. Alhasil otak harus bekerja ekstra untuk bisa bertahan dengan keadaan dapur alakadarnya asal masih tetap bisa kemebul

5. KONSUMEN
Susunan domino terakhir yang akan runtuh datang dari konsumen selaku penikmat maupun pecinta produk rokok. Setiap tahun, konsumen menjadi korban, sekaligus kambing hitam dan sasaran alasan kenaikan cukai rokok. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, kena kotoran sapi pula. Anggaran dana kesehatan "katanya" dihabiskan oleh para perokok yang jatuh sakit dan didiagnosa dengan penyakit-penyakit seperti stroke, jantung dan lainnya yang notabene diakibatkan bukan karena rokok, melainkan akibat polusi, pola hidup dan pola makan yang kurang disiplin. 

Konsumen yang datang dari kelompok ekonomi menengah ke bawah belakangan ini kepalanya seperti berasap, asap yang tak kasat mata, akibat berpikir keras untuk dapat tetap berasap di tengah kebijakan pemerentah yang membuat dompet semakin terasa seperti paceklik. 

Berbagai cara sudah dilakukan oleh konsumen yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari membeli dan membiasakan diri dengan rokok harga murah hingga tingwe yang notabene tak perlu merogoh kocek terlalu dalam untuk bisa mencerna nikotin di dalam tubuh. 

6. ROKOK ILEGAL
Jika domino yang lain runtuh, lain dengan domino yang satu ini, ia akan kokoh tegak menantang dan akan menjadi "idola" bagi para konsumen yang belum terbiasa atau kurang nyaman dengan tingwe. Rokok tanpa cukai, alias ilegal, harganya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan rokok bercukai, namun keberadaannya kian lama kian marak beredar di pasaran, mulai dari pasar tradisional hingga online marketplace berbasis aplikasi akibat permintaan pasar yang lebih besar. Jika dilihat dari kacamata hukum, jelas ilegal, tapi kebijakan pemerentah sendiri yang membuat rokok ilegal kian marak. 

7. TINGWE
Tidak jauh berbeda dengan rokok ilegal, domino tingwe pun takkan runtuh, meskipun keberadaannya sudah ada jauh sebelum maraknya rokok ilegal di pasaran. Bisa dilihat, di kota-kota besar mulai bermunculan kios-kios yang menjual berbagai macam tembakau lengkap dengan aksesoris penunjangnya. Konsumennya pun datang dari berbagai kalangan, mulai dari anak muda hingga orang tua, wanita maupun pria dan tentunya Si Kaya dan Si Pas-pasan. Hal tersebut serta merta menjadi trend masa kini yang tidak dapat dipungkiri lagi ketenarannya. 


Mentri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa para perokok menjadi beban negara dengan menghabiskan anggaran BPJS kesehatan hingga Rp15 triliun. Padahal, menurut Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), pendapatan pemerintah dari cukai sebesar Rp185,9 triliun pada tahun 2020. Nilai tersebut cenderung meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yaitu Rp181 triliun. 

Belum lagi jika berbicara statement presiden Joko Widodo yang menyebutkan defisit BPJS ditutup 50% oleh uang cukai, didapat dari jutaan mulut yang berasap pagi hingga pagi lagi. 

Lantas, apakah benar, berbagai penyakit berbahaya disebabkan hanya karena rokok, bukan karena pola hidup yang kurang disiplin, bukan karena polusi, bukan karena durasi seseorang terpapar polusi udara? 

Mungkinkah pemerintah mendapat donasi kucuran dana yang fantastis dari pihak tertentu untu menekan jumlah perokok supaya Si Donatur bisa memonopoli tembakau di Indonesia untuk industri farmasi yang dikelolanya? 

Semua jawaban hanya bisa didapatkan bagi orang-orang yang mencarinya dengan serius dan bisa menelisik hingga menelaah fakta di lapangan, kian lama kian terlihat hitam dan putihnya. Yang jelas, tidak semua penyakit disebabkan hanya karena merokok sehingga membuat pemerintah kian ugal-ugalan menaikkan harga cukai setiap tahun dengan tujuan (yang katanya) untuk menekan jumlah perokok di Indonesia. Atau, ada agenda tersembunyi di balik semua ini? 

Coba kita bertanya pada para pejabat berekening gendut yang duduk mengangkang di kursi kekuasaan di atas sana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH TEMBAKAU RAKYAT YANG BERJASA MEMBUAT PETANI BISA BERHAJI

CARA MEMBUAT BLEND / CAMPURAN TEMBAKAU

TEMBAKAU SRINTHIL